Warnet dan Nostalgia Digital
Bagi banyak orang, warnet mengingatkan pada masa-masa awal berkenalan dengan internet. Suara koneksi dial-up, chatting di mIRC atau Yahoo! Messenger, hingga bermain game online pertama kali, semua itu menjadi bagian dari nostalgia digital era warnet.
Warnet dalam Budaya Populer
Warnet juga sering muncul dalam berbagai karya budaya populer Indonesia, mulai dari film, novel, hingga lagu. Ini menunjukkan betapa warnet telah menjadi bagian penting dari lanskap budaya digital Indonesia.
Warnet, meski kini mulai ditinggalkan, telah memainkan peran penting dalam sejarah perkembangan internet di Indonesia. Dari menjadi gerbang pertama bagi banyak orang untuk mengakses dunia digital, hingga menjadi ruang sosial bagi anak muda, warnet telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam perjalanan Indonesia menuju era digital.
Meski era keemasan warnet telah berlalu, kisah dan perannya dalam membentuk budaya internet di Indonesia tetap relevan untuk diingat dan dipelajari. Warnet menjadi saksi bisu bagaimana teknologi dapat mengubah cara masyarakat berinteraksi, belajar, dan berkomunikasi.
Saat kita melangkah lebih jauh ke era digital yang semakin canggih, ada baiknya kita sesekali menoleh ke belakang dan mengingat warnet - sebuah warung kecil yang pernah menjadi jendela dunia bagi banyak orang Indonesia.
Bahasa merupakan salah satu unsur identitas suatu bangsa. Begitu pula bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas nasional bagi bangsa dan negara Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, bersamaan dengan mulai berlakunya Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Ragam yang dipakai sebagai dasar bagi bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau. Pada Abad ke-19, bahasa Melayu merupakan bahasa penghubung antaretnis dan suku-suku di kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antaretnis dan suku-suku, dulu bahasa Melayu juga menjadi bahasa penghubung dalam kegiatan perdagangan internasional di wilayah nusantara. Trasaksi antarpedagang, baik yang berasal dari pulau-pulau di wilayah nusantara maupun orang asing, menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu. Bahasa melayu kala itu adalah lingua franca (bahasa pengantar dalam pergaulan) antarwarga nusantara dan dengan pendatang dari manca negara. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa bahasa Melayu ditetapkan sebagai dasar bagi bahasa Indonesia.
Alasan lain mengapa bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa nasional bagi negara Indonesia adalah karena hal-hal sebagai berikut. Dibandingkan dengan bahasa daerah lain, misalnya bahasa Jawa, sesungguhnya jumlah penutur bahasa Melayu tidak lebih banyak. Dipandang dari jumlah penuturnya, bahasa Jawa jauh lebih besar karena menjadi bahasa ibu bagi sekitar setengah penduduk Indonesia; sedangkan bahasa Melayu dipakai tidak lebih dari sepersepuluh jumlah penduduk Indonesia. Bahasa Melayu ragam Riau merupakan bahasa yang kurang berarti. Bahasa itu diperkirakan dipakai hanya oleh penduduk kepulauan Riau, Linggau dan penduduk pantai-pantai di Sumatera. Namun di sinilah letak kearifan para pemimpin kita dahulu. Mereka tidak memilih bahasa daerah yang besar sebagai dasar bagi bahasa Indonesia karena dikhawatirkan akan dirasakan sebagai pengistimewaan yang berlebihan.
Alasan kedua, mengapa bahasa Melayu dipilih sebagai dasar bagi bahasa Indonesia adalah karena bahasa itu sederhana sehingga lebih mudah dipelajari dan dikuasai. Bahasa Jawa lebih sulit dipelajari dan dikuasai karena kerumitan strukturnya, tidak hanya secara fonetis dan morfologis tetapi juga secara leksikal. Seperti diketahui, bahasa Jawa memiliki ribuan morfem leksikal dan stuktur gramatikal yang banyak dan rumit. Penggunaan bahasa Jawa juga dipengaruhi oleh struktur budaya masyarakat Jawa yang cukup rumit. Ketidaksederhaan itulah yang menjadi alasan mengapa bukan bahasa Jawa yang dipilih sebagai dasar bagi bahasa Indonesia. Yang sangat menggembirakan adalah bahwa orang-orang Jawa pun menerima dengan ikhlas kebedaraan bahasa Melayu sebagai dasar bagi bahasa Indonesia, meskipun jumlah orang Jawa jauh lebuih banyak daripada suku-suku lain.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca atau bahasa pergaulan bagi suku-suku di wilayah nusantara dan orang-orang asing yang datang ke wilayah nusantara dibuktikan dalam berbagai temuan prasasti dan sumber-sumber dokumen. Dari dokumen-dokumen yang ditemukan diketahui bahwa orang-orang Cina, Persia dan Arab, pernah datang ke kerajaan Sriwijaya di Sumatera untuk belajar agama Budha. Pada sekitar abad ke-7 kerajaan Sriwijaya merupakan pusat internasional pembelajaran agama Budha, dan negara yang terkenal sangat maju perdagangannya. Kala itu, bahasa Melayu merupakan bahasa pengantar dalam pembelajaran agama Budha dan perdagangan di Asia Tenggara. Bukti-bukti yang menyatakan hal itu adalah prasasti-prasasti yang ditemukan di Kedukan Bukit di Palembang (683 M), Talang Tuwo di Palembang (684 M), Kota Kapur (686 M), Karang Birahi di Jambi (688 M). Prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari dan berbahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu Kuno ternyata tidak hanya dipakai pada masa kerajaan Sriwijaya saja karena di Jawa Tengah (Ganda Suli) juga ditemuka prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu kuno.
Pada masa keemasan kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa kebudayaan dan pendidikan. Waktu itu bahasa Melayu dipakai dalam buku-buku pelajaran agama Budha. Seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain menyatakan bahwa di Sriwijaya kala itu ada bahasa yang bernama Koen Loen yang berdampingan dengan bahasa Sanskerta. Sebutan Koen-Luen bermakna bahasa perhubungan (lingua franca), yaitu bahasa Melayu (Ali Syahbana, 1971).
Sejarah bahasa Melayu yang telah lama menjadi lingua franca tampak makin jelas dari peninggalan-peninggalan kerajaan Islam, antara lain tulisan pada batu nisan di Minye Tujah, Aceh (tahun 1380 M) dan karya sastra abad 16-17, misalnya syair Hamzah Fansuri yang berisi hikayat raja-raja Pasai dan buku Sejarah Melayu, yaitu Tajussalatin dan Bustanussalatin. Selanjutnya, bahasa Melayu menyebar ke seluruh pelosok nusantara bersama dengan menyebarnya agama Islam di wilayah.
Meskipun dipakai oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Bahasa ibu bagi sebagian besar warga Indonesia adalah salah satu dari 748 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Dalam pemakaian seharihari, Bahasa Indonesia kerap dicampuradukkan dengan dialek Melayu lain atau bahasa daerah penuturnya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Telah disampaikan bahwa Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang telah digunakan sebagai lingua franca di Nusantara sejak dulu. Dari prasasti-prasasti dan peninggalan kuno diketahui bahwa bahasa Melayu telah digunakan sejak jaman kerjaan Sriwijaya, yang kemudian berkembang pesat penggunaannya karena diperkaya dengan kata-kata dan istilah pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini pun cukup luas, karena ditemukan pula dokumendokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca adalah kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta.
Pada abad XV Masehi, berkembang varian baru bahasa Melayu yang disebut sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bahasa Melayu varian ini digunakan sebagai bahasa pengantar di wilayah Kesultanan Melaka. Pada periode selanjutnya, bahasa Melayu varian ini disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Tome Pires, seorang pedagang asal Portugis menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Pada masa itu bahasa Melayu Tinggi banyak dipengaruhi oleh kosa kata bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Pada masa selanjutnya, para pedagang dari Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris mulai berdatangan. Mereka kemudian banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata yang diambil dari kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Melayu kemudian mengenal kosa kata baru, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda memperkaya kosa kata bahasa Melayu di bidang administrasi dan kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa itu.
Para pedagang dari Cina juga ikut memperkaya kosa kata bahasa Melayu, terutama yang berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari. Kata-kata seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong berasal dari kosa kata bahasa Cina. Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di “dunia timur”. Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
Tonggak penting bagi bahasa Melayu terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus bahasa Melayu. Sejak saat itu kedudukan bahasa Melayu menjadi setara dengan bahasa-bahasa lain di dunia, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas. Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Dengan mengamati perkembangannya, pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Pengenalan bahasa Melayu pun dilakukan di sejumlah institusi pemerintah, seperti sekolah-sekolah dan lembaga pemerintahan. Sastrawan juga mulai menulis karyanya dalam bahasa Melayu. Sebagai dampaknya, terbentuklah cikal-bakal bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari asal-usulnya, yaitu bahasa Melayu Riau.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen. Pada tahun 1904 wilayah Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah jajahan Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Tahun 1896 dimulai penyusunan ejaan Van Ophuysen yang diawali penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) oleh van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Menyadari akan pentingnya kedudukan bahasa Melayu, campur tangan pemerintah semakin kuat. Pada tahun 1908 pemerintah kolonial membentuk Commissie voor de Volkslectuur atau “Komisi Bacaan Rakyat” (KBR). Lembaga ini merupakan embrio Balai Poestaka. komisi ini. Di bawah pimpinan D.A. Rinkes, pada tahun 1910 KBR melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Cara ini ditempuh oleh pemerintah kolonial Belanda karena melihat kelenturan bahasa Melayu Pasar yang dapat mengancam eksistensi jajahanannya. Pemerintah kolonial Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, diantaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Namun, bahasa Melayu Pasar sudah telanjur berkembang dan digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi.
Pada tahun 1917 pemerintah kolonial belanda mengubah KBR menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, bukubuku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
Sumber: Purnanto, A.W. 2019. Pengantar Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Magelang: Unimma Press
Peminat dan Penjualan di Indonesia
Sonny Angel memiliki basis penggemar yang besar di Indonesia. Penggemarnya sering berburu edisi baru dan eksklusif. Hal ini membuat penjualan boneka ini terus meningkat di berbagai platform e-commerce dan komunitas kolektor. Di beberapa kesempatan, penggemar bahkan berkumpul dalam acara khusus atau meet-up untuk bertukar koleksi dan berbagi cerita.
Seperti halnya boneka Labubu, Sonny Angel sering kali menghadirkan koleksi terbatas yang membuat penggemar semakin antusias. Penjualan edisi khusus atau event peluncuran juga menarik minat lebih banyak orang untuk terlibat dalam komunitas ini. Tak jarang, stok habis hanya dalam hitungan jam setelah peluncuran.
Kesimpulan: Dari Koleksi Boneka hingga Investasi Fintech
Sonny Angel dan Labubu bukan sekadar mainan. Mereka menjadi instrumen investasi yang menarik bagi banyak orang. Fenomena ini membuktikan bahwa barang koleksi bisa memiliki nilai lebih dari sekadar kenangan atau hobi. Dalam konteks fintech, fenomena ini membuka peluang baru untuk memadukan teknologi dengan investasi koleksi, memberi cara baru bagi orang untuk mengelola kekayaan mereka.
Jangan lewatkan informasi menarik lainnya!
Alasan Boneka Labubu Jadi Fenomena Dunia: Penggemar Rela Antri Panjang dan Heboh!
Boneka Labubu Menginspirasi Peningkatakan Investasi UMKM
tirto.id - Kebaya memang sudah lama dikenal sebagai pakaian tradisional nusantara. Namun, siapa sangka jika kebaya ternyata juga menjadi pakaian tradisional sejumlah negara lain di ASEAN, termasuk salah satunya Singapura.
Belakangan ini kebaya Singapura banyak dibicarakan oleh publik lantaran negara tersebut mendaftarkan kebaya sebagai warisan budaya takbenda UNESCO.Melansir dari The Straitstimes, Singapura mendaftarkan kebaya menjadi nominasi multinasional.
Oleh karena itu, negara tersebut juga membuka peluang bagi negara-negara lain yang ingin ikut serta mendaftarkan pakaian kebaya ke UNESCO sebagai warisan budayanya. Tiga negara lain yang ikut mendaftar, yaitu Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Sayangnya, Indonesia tidak masuk di antara negara-negara yang mendaftarkan kebaya ke UNESCO bersama Singapura. Belakangan diketahui Indonesia akan mendaftarkan kebaya ke UNESCO secara mandiri.
Mengenal Asal Usul Tren Kebaya di Singapura dan Indonesia
Baik Singapura maupun Indonesia memiliki sejarah yang panjang dengan pakaian tradisional kebaya. Jika ditarik berdasarkan sejarah, asal usul tren kebaya diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15.
Yvonne Tan dalam Malaysia Design Archive (2020) mengungkapkan bahwa kebaya merupakan sebagai peninggalan kerajaan terbesar di Nusantara saat itu, yaitu Kerajaan Majapahit.
Berdasarkan bukti sejarah, kerajaan ini menguasai hampir di seluruh wilayah Asia Tenggara, termasuk sebagian besar kepulauan di Indonesia, Singapura, bahkan Filipina.
Seiring berjalannya waktu, kebaya diadaptasi oleh wilayah-wilayah bekas Kerajaan Majapahit tersebut, termasuk Indonesia dan Singapura.
Tren Kebaya di Singapura
Kebaya di Singapura dikenal dengan nama nyonya kebaya. Sesuai dengan namanya, pakaian ini bersifat feminim yang artinya dikenakan khusus untuk perempuan.
Melansir Singapore Infopedia, kebaya nyonya diasosiasikan dengan wanita yang berasal dari peranakan Tionghoa. Kebaya ini merupakan adaptasi dari baju panjang Melayu.
Kebaya nyonya di Singapura awalnya hanya berupa blus tembus pandang yang terbuat dari bahan voile, yaitu kain tenun polos dan ringan berbagai warna. Kebaya nyonya dibuat dengan cara ditenun, lalu corak atau motifnya disulam dengan tangan.
Motif-motif yang disematkan di kebaya nyonya beragam dan kebanyakan dipengaruhi budaya Melayu dan Tionghoa, seperti bunga, kupu-kupu, naga, hingga burung phoenix.
Di tahun 1970-an Singapura membangun pabrik-pabrik tekstil yang dapat memproduksi kebaya secara massal. Kain yang dikenakan untuk membuat kebaya juga semakin beragam mulai dari katun hingga satin.
Sejak 1968, Kebaya Singapura juga dijadikan ikon untuk satu-satunya maskapai penerbangan nasional kala itu, yaitu Singapore Airlines. Penggunaan seragam kebaya juga masih bertahan hingga saat ini.
Para pramugari maskapai Singapore Airlines mengenakan setelan kebaya dan secara langsung memperkenalkan pakaian tersebut kepada penumpang internasional.
Bahkan orang-orang di luar negeri menyebut wanita berkebaya kala itu sebagai "The Singapore Girl" atau Gadis Singapura.
Sama seperti perkembangan kebaya di Indonesia, pakaian kebaya di Singapura berkembang dengan bentuk dan warna yang lebih modern.
Banyak wanita Singapura yang mengenakan kebaya untuk acara-acara formal maupun perayaan hari tertentu. Selain itu, pakaian ini dikenakan juga untuk sebagai seragam karyawan di industri hospitality seperti resort dan perhotelan.
infoPleret- Setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini. Pada hari itu tahun 1879, telah lahir seorang pahlawan bagi kaum perempuan yang dalam perkembangan jaman, dimana pun di seluruh dunia, sering dinomorduakan. Dialah Raden Ajeng Kartini yang sontak menggegerkan pemerintah kolonial Hindia Belanda karena perjuangannya melawan diskriminasi terhadap kaumnya.
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau lebih dikenal dengan R.A. Kartini merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita ketika beliau masih hidup. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
R.A. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara. Kemudian hari kelahirannya diperingati sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa Kartini kepada bangsa Indonesia.
Perjuangan Kartini lebih menekankan pada tuntutan agar perempuan saat itu memperoleh pendidikan yang memadai, menaikkan derajat perempuan yang kurang dihargai pada masyarakat Jawa, dan kebebasan dalam berpendapat serta mengutarakan pikiran. Pada masa itu tuntutan tersebut, khususnya pada masyarakat Jawa, adalah lompatan besar bagi perempuan yang disuarakan oleh perempuan juga.
Maka dari itu perempuan Indonesia harus berbangga karena beliau (R.A Kartini) kita dapat bersekolah, bekerja, kedudukan disamakan seperti para laki-laki.
Mengapa Boneka Sonny Angel Bisa Menjadi Tren Koleksi dan Investasi?
Boneka Sonny Angel pertama kali diperkenalkan pada tahun 2004 oleh Dreams Inc., sebuah perusahaan asal Jepang. Boneka koleksi kecil dengan tema malaikat ini memiliki desain unik yang membuatnya digemari. Setiap boneka memiliki tubuh mungil tanpa pakaian dengan penutup kepala berbentuk hewan atau buah-buahan. Sederhana, tetapi wajah menggemaskan dan desainnya membuat kolektor tertarik.
Di Indonesia, boneka Sonny Angel mendapat sambutan hangat. Peminatnya beragam, dari remaja hingga orang dewasa. Para penggemar rela mengantri demi mendapatkan edisi terbatas. Meskipun ukurannya kecil, harga boneka ini cukup tinggi, terutama untuk koleksi edisi terbatas yang bisa dijual dengan harga lebih mahal di pasar sekunder. Ini menunjukkan minat yang besar dari komunitas kolektor Indonesia.
Persamaan Antara Keduanya
Meski berbeda dalam desain, Sonny Angel dan Labubu memiliki persamaan penting: keduanya menciptakan fenomena kolektor yang setia. Baik Sonny Angel maupun Labubu memiliki nilai yang terus meningkat di pasar kolektor. Kolektor rela merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan edisi langka, yang kemudian sering dijual kembali dengan harga lebih tinggi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa keduanya tidak hanya menjadi mainan biasa. Mereka telah bertransformasi menjadi barang investasi yang menjanjikan bagi penggemar. Keberhasilan keduanya menciptakan tren baru di mana barang koleksi dapat menjadi instrumen investasi.
Perbedaan Antara Sonny Angel dan Labubu
Sonny Angel menawarkan tema yang lembut dan menggemaskan dengan karakter malaikatnya. Sebaliknya, Labubu hadir dengan tampilan yang lebih berani dan unik. Labubu dari seri POP MART menampilkan karakter dengan ekspresi nakal dan gigi mencuat, memberikan nuansa yang lebih eksentrik. Desain Labubu juga cenderung lebih variatif, sedangkan Sonny Angel mempertahankan konsep sederhana dan konsisten.
Secara popularitas, Sonny Angel lebih dulu hadir dan mendapat tempat di hati penggemar di berbagai negara. Labubu, meski lebih baru, dengan cepat menarik perhatian berkat desain kreatif dan pemasaran yang agresif. Keduanya sama-sama sering merilis edisi terbatas yang membuat kolektor selalu menunggu rilisan terbaru.
Kaitan Fenomena Boneka Koleksi dengan Fintech
Sonny Angel dan Labubu tidak hanya menarik sebagai barang koleksi, tetapi juga menunjukkan bagaimana barang-barang ini dapat menjadi investasi. Seperti investasi saham atau properti, para penggemar melihat potensi keuntungan dari peningkatan nilai boneka yang mereka miliki. Edisi terbatas dan permintaan tinggi membuat harga boneka ini di pasar sekunder seringkali meningkat drastis.
Tren ini memberikan pelajaran bagi dunia fintech. Beberapa platform fintech kini menawarkan cara untuk memperdagangkan aset koleksi, seperti mainan atau barang antik. Teknologi blockchain, misalnya, memungkinkan kolektor untuk memastikan keaslian dan sejarah barang yang mereka miliki, sehingga proses jual beli menjadi lebih aman dan transparan.